Demi Kopi

Didik J. Rachbini: 6 Masalah Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Ancaman Krisis

  • Share
Prof. Dr. Didik J. Rachbini
Prof. Dr. Didik J. Rachbini
banner 468x60

(Jakarta, 18 Juli 2022) Kasus antri makanan di negara adidaya Amerika Serikat menjadi indikasi bahwa krisis pandemi covid-19 terus berlanjut bahkan setelah covid-19 itu sendiri berakhir menjadi endemi.

Demikian disampaikan oleh Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini, MSc., Ph.D dalam Diskusi Forum Guru Besar Insan Cita bertajuk “Ketahanan Ekonomi Indonesia di tengah Ancaman Krisis” di Jakarta, Minggu (17 Juli 2022).

banner 336x280

Menurut Didik setelah sebelumnya, dua negara mengalami krisis ekonomi dan politik, yakni Pakistan dan Sri Lanka muncul pertanyaan, Apakah ada ancaman krisis ekonomi di Indonesia dalam satu atau dua tahun ke depan?

Pertanyaan ini menurut Didik tidak mudah dijawab, tetapi bisa dikaji dari indikasi-indikasinya.  “Setidaknya ada 5 indikasi MASALAH yang terus berkelindan dalam ekonomi Indonesia, yakni Pertama, Krisis covid 19 dan dampaknya yang ternyata tidak berhenti setelah krisis berhenti.”

Krisis Indonesia multi dimensi, paling tidak ada 2 dimensi yakni Kesehatan dan Ekonomi. Berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Maka seharusnya pemerintah tidak boleh abai terhadap dampak dari krisis covid ini.

“Rumitnya, justru krisis covid ini dimulai dari kebijakan yang tidak memadai, bahkan tidak karuan karena response kebijakan salah kaprah di awal krisis covid-19 pada tahun 2020.  Pertanda bahwa pemerintah sayangnya tidak punya kapabilitas yang memadai dalam merespon krisis covid-19 ini.” Ujarnya.

Masalah Kedua, yaitu Kesinambungan Pertumbuhan Ekonomi.  “Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi 5 persen seperti sekarang masih menjadi tanda tanya karena pengaruh krisis global yang sudah memakan korban, Sri Lanka dan Pakitan.  Dalam dua periode pemerintahan ini tidak tidak usah berharap ekonomi tumbuh 7 persen seperti janji kampanye. Dalam keadaan tidak krisis saja 2014-2019 pertumbuhan ekonomi nyatanya tidak seperti yang dijanjikan, apalagi ketika terjadi krisis.” Ungkap Didik.  

Dengan pertumbuhan ekonomi hampir satu dekade seperti saat ini, maka harapan bangsa Indonesia untuk melakukan lompatan menjadi negara industri menjadi sulit dan bahkan tidak akan terwujud.

“Pemerintah menyia-nyiakan momentum historis  bonus demografi, yang hanya datang sekali dalam sejarah-bangsa-bangsa.  Indonesia di tangan regim seperti ini akan menjadi negara yang lembek dan sakit. Pendapatan per kapita cuma naik turun di sekitar 4 ribu US dollar.” Imbuhnya.  

Indonesia yang sakit sangat sulit melompat dari negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan tinggi melewati batas 10 ribu  US dollar per kapita.

Bonus demografi hilang, dimana stagnasi pendapatan menengah bawah akan menyimpan masalah besar, porsi kemiskinan penduduk akan cukup besar. Hal itu akan menjadi masalah dalam stabilitas sosial.

Menurut Didik, Masalah Ketiga adalah Krisis Harga Pangan dan Energi. Di Amerika saat ini inflasi mulai tinggi dan sudah mulai ada antrian makanan. Makanan cukup, tetapi harganya tidak lagi terjangkau. Dalam ekonomi itu diartikan kondisi mulai sedikit chaos.

“Mengapa hal itu tidak atau belum terjadi di Indonesia? Pemerintah Indonesia kini menyiram subsidi besar-besaran dan mencegat semua kemungkinan inflasi dengan mengorbankan apa saja sumber daya, menguras APBN, dan berutang besar. Cara kebijakan yang sembrono seperti ini berbahaya dan akan menjadi bom waktu di masa mendatang.  Bebannya akan ditimpakan  pada presiden mendatang akan mendapat beban yang sangat berat dari warisan sekarang.” Bebernya.

Subsidi dari pemerintah saat ini sudah mencapai lebih dari Rp500 triliun. Suatu jumlah yang sangat besar dan berat. Hal itu sama dengan anggaran Presiden SBY dulu yang Rp 500 triliun untuk semua kabupaten dan propinsi, dan digunakan untuk bermacam-macam bidang.

Masalah Keempat menurut Didik, ada utang yang sangat besar dan defisit dalam setahun Rp1,000 triliun. Utang satu tahun sebesar Rp1,500 triliun, yang berarti hal itu lebih besar dari pendapatan pajak dari seluruh rakyat Indonesia.

“Mengapa bisa terjadi? karena tidak ada check and balance; Parlemen 82 persen dikuasai partai pendukung pemerintah. Tidak ada yang berani untuk mengontrol. Justu pada masa krisis sekarang, Pemda-pemda, Bupati dan seterusnya berfoya-foya hampir dua kali lebih besar dari masa sebelum krisis.” Tegasnya.

Pada saat krisis semestinya anggaran lebih dikendalikan. Ketika krisis, orang seharusnya menghemat, tidak kemana-mana dulu. Bisa terjadi ada pemotongan anggaran. Potongan itulah yang dimasukkan dalam anggaran PEN. Sekarang yang terjadi dipotong pun tidak, tetapi anggaran PEN sudah Rp700 triliun.

Permasalahan Kelima, adanya Kesenjangan Sosial. Apakah Indonesia akan mengalami nasib seperti Srilanka dan Pakistan?

“Dari segi ekonomi pasti berbeda. Indonesia 1 triliun US dollar PDB, Srilanka hanya ber PDB 80 miliar USD. Jadi Indonesia is large economy, srilanka small economy. Pada saat Indonesia krisis, Srilanka tidak alami krisis. Tidak ada hubungan langsung antara Srilanka dan Indonesia. Yang ada, masalah-masalah point 1 sd 5 di atas, apakah bisa diselesaikan?” lanjutnya.

Indonesia dengan Srilanka jelas berbeda. Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan jika stabilitas politik lebih berat. Jika harga-harga terus naik, maka rakyat akan protes keras. Jadi, Srilanka dan Indonesia tidak sama, dan tidak bisa ditarik-tarik Indonesia akan mengalami krisis seperti Srilanka.

“Hanya, melihat krisis global sekarang dan Indonesia punya masalah berat seperti sekarang, maka potensi krisis pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai. Segala kebijakan hendaknya tetap care terhadap krisis, kebijakan pembangunan IKN adalah contoh kebijakan yang tidak care terhadap krisis.” Ungkapnya.  

Masalah ke Enam, adalah kapasitas kebijakan pemerintah tidak memadai dan banyak sekali salah kaprah. “Ini masalah kepemimpinan ekonomi yang absen, yang bisa dilihat dan dari akibat buruknya kebijakan yang dihasilkan. Tidak ada lagi menteri yang punya kepemimpinan teknokratis, semua menjadi politisi rabun dekat, sehingga memperlemah kebijakan yang dihasilkan dalam kepemimpinan masalah ekonomi.” Tutur Didik.  

“Dulu masih bisa berharap kepada menteri keuangan, tetapi tidak lagi sekarang. Oleh karenanya kita ragu dalam masalah ekonomi akan bisa diselesaikan sehingga kita lepas dari krisis atau resesi di masa mendatang.” Pungkasnya.

banner 336x280
banner 120x600
  • Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *